REPOSISI KREASI BUDAYA DALAM PENGUATAN MASYARAKAT LOKAL

oleh; SARWONO

Jur. Kriya Tekstil, FSSR, UNS

A. PENDAHULUAN

Dunia budaya dan seni bagi orang Jawa tidaklah merupakan barang baru serta asing dalam kehidupan berbudaya, karena jenis kesenian ini sudah dianggap suatu bagian kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Seni tradisi telah diakui keberadaannya sebagai sebuah sistem budaya dalam bentuk simbol-simbol yang sangat rumit, penuh nilai-nilai di dalamnya. Karya budaya danseni tradisi dalam masyarakat pendukungnya, merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah habis digali dan dikembangkan nilai-nilainya. Semakin kedalam karya tersebut dipelajari, semakin menakjubkan isi yang ada di dalamnya.Takjub akan estetika maupun makna simbolisme yang tersirat maupun tersurat dalam karya tersebut. Wujud kebudayaan yang berbentuk karya seni tradisi, tidak hanya terdapat di Jawa, tetapi hampir di belahan dunia ini seni batik yang menggunakan media canting telah berlangsung lama dan turun temurun. Oleh karenanya, seni batik juga dikatakan sebagai seni budaya yang pada hakekatnya bersifat kosmopolis dan universal. Sehingga seni tradisi dapat muncul kapan saja, di mana saja sepanjang manusia masih ada. (Cassires, 1944: 23 – 26)

Budaya dan Seni tradisi ini juga termuat ajaran etika dan keindahan yang berbetuk penampilan visual dan simbolisme hidup yang pada dasarnya dapat menuntun manusia menuju kesempurnaan dan jati diri yang sejati. Kaidah ini dimungkinkan, mengingat bahwa budaya tradisi merupakan pengejawantahan jiwa dalam kehidupan yang selalu mewujudkan aksi dan reaksi serta secara kontinyu untuk mendapatkan penyelesaian masalah yang bijak dan baik sesuai kultur yang telah terbentuk.(Sastraamidjaja,1964: 17 – 20) Melalui budaya danseni tradisi ini, hal – hal akan muncul dan sarat dengan etika, keindahan juga simbolismenya.

Seni batik tradisi misalnya, sarat dengan makna simbolisme memegang peranan penting dalam menunjukkan kedudukan para pemakai pada saat itu. Juga tiap-tiap busana yang dipakai mengandung makna simbolisme yang ter kandung di dalamnya. Busana batik adat Jawa memiliki berbagai variasi bentuk motifya, di mana motif batik tradisi yang bervariasi ini sudah barang tentu memiliki makna simbolisme.

B. MERKANTILISME BUDAYA

Dewasa ini budaya (dalam hal ini seni) tradisi mulai berubah daya hidupnya, karena pengaruh dari berbagai perubahan baik sosiol, ekonomi maupun kultural yang berlangsung secara global.

Pengaruh globalisasi menciptakan suatu proses transformasi yang sangat besar, karena disebabkan oleh menguatnya rasionalisasi di setiap aspek kehidupan. Di satu pihak mengakibatkan melemahnya ikatan bathin dengan berbagai aspek komunitas, upacara ritual bahkan kepercayaan, serta di lain pihak memunculkan kekuatan ikatan bathin terhadap berbagai aspek komoditi, pencitraan lewat media serta budaya yang cepat saji.

Akibat dari semua itu, memunculkan suatu proses besar tentang diskontinuitas dari berbagai kondisi budaya tradisi yang pernah dialami dalam masyarakat, termasuk perubahan pada seni tradisi di Jawa.

Diskontinuitas tersebut mempengaruhi dalam tiga aspek utama, yaitu: diskontinuitas epistemologis filosofis, diskontinuitas sosio ekonomi dan diskontinuitas estetis. (Yasraf , 2004: 2)

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa; pertama, diskontinuitas epistemoligis filosofis yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan pandangan dunia tradisi diganti oleh pengetahuan dan pandangan dunia tentang konsep modern. Suatu proses rasionalisasi dinia kehidupan dengan menghilangkan kapercayaan magis, terutama dalam kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan Sang Pencipta. Dengan semakin dominannya dogma-dogma yang dibuat oleh masyarakat atas dogma Agama dan kepercayaan, semakin membuktikan hal tersebut. Seiring dengan pembebasan masyarakat dari hal-hal yang bersifat magis, diiringi dengan tercabutnya tentang pengetahuan dari hakekat mitologi yang selama ini diyakini dalam masyarakat Jawa.

Proses transformasi demikian ini sering didengungkan dengan istilah modernisasi yang sebenarnya semakin mengikis habis tentang pemahaman epistemologis filosofis yang terdapat dalam budaya batik tradisi kita. Proses ini mempengaruhi langsung terhadap bentuk aktifitas masyarakat tradisi, yang semula bersifat magis dalam upacara adat berubah menjadi suatu kalkulasi yang rasional. Inilah yang dinamakan suatu proses pengikisan pandangan tentang tradisi menjadi pandangan dunia yang modern atau dapat disebut suatu pencabutan budaya yang sakral dan spiritual menjadi sebuah dunia yang profan serta rasional. Kedua; diskontinuitas ekonomis merupakan suatu pengaruh adanya industrialisasi sebagai produk modernisasi, sehingga membuat masyarakat lokal dengan gaya ekonomi lokal dengan segala nilai yang ada terseret oleh arus ekonomi modern. Dengan demikian budaya (dalam hal ini seni) tradisi dijadikan kebudayaan komoditi dalam rangka mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menerapkan efisiansi di segala bidang. Sehingga budaya (dalam hal ini seni) tradisi berubah menjadi industri kebudayaan dikarenakan tekanan komersialisasi secara kontinyu serta dituntut berbagai ketentuan komoditi modern, yaitu kualitas, efisiensi dengan mengandalkan pada produk massal. Dengan adanya sifat komersial dalam tuntutan modernisme tersebut, konsep industri kebudayaan cenderung menjadi diskontinuitas dari nilai-nilai yang telah ada dalam tekstil tradisi, termasuk batik tradisi di Jawa. Disini nilai sakral, spiritual dan mengandung mitos berubah menjadi nilai komersial sesuai dengan kalkulasi ekonomi modern. Ketiga; diskontinuitas estetik konsepsual mengakibatkan budaya (dalam hal ini seni) tradisi terperangkap dalam konsep industri kebudayaan, karena tekanan komersial yang cenderung mengeksplorasi aspek-aspek estetis dalam rangka untuk memenuhi selera masyarakat serta mementingkan segi keuntungan dari produk kebudayaan tradisi tersebut.

Konsep estetika komoditi diberlakukan untuk mengolah bentuk-bentuk estetik berlandaskan pada daya tarik serta provokasi terhadap masyarakat konsumen. Berbagai bentuk multifungsi diciptakan dengan pertimbangan estetika komersial selalu ditonjolkan dalam konsep estetika komoditi, sehingga nilai sakral, dan nilai filosofis menjadi luntur.

Merkantilisme budaya tersebut mengakibatkan budaya (dalam hal ini seni) tradisi di antaranya seni tradisi menjadi dilema, karena bentuk seni tradisi yang merupakan suatu karya konvensi serta diilhami oleh kepercayaan dan mitos yang dipresentasikan sebagai kelanjutan masa lalu ke masa kini yang harus tetap bertahan di tengah era globalisasi.

Ada masyarakat yang beranggapan bahwa tradisi merupakan suatu yang terpancang pada sebuah tonggak besar dan tidak dapat bergerak. Padahal sebetulnya tradisi itu selalu dapat membuka ruang sejarah untuk dapat direinterpretasikan secara kontinyu, sehingga budaya tradisi dapat selalu berkembang sesuai dengan perubahan dan kemajuan jaman (Umar Kayam, 1981) Bentuk definisi tersebut sebagai suatu upaya penerapan budaya (dalam hal ini seni) tradisi ke dalam konfigurasi dan ekspresi bentuk lain dengan mengikuti serta mengikuti dogma-dogma yang ada, tetapi tifak meninggalkan nilai-nilai yang ada

Di pihak lain, ada yang beranggapan ada mitos yang berkembang dalam masyarakat, bahwa seni tradisi tidak memiliki pengetahuan serta daya kreatif yang rendah, padahal sebetulnya ia memiliki pengetahuan lokal, psikologi lokal dan filosofi lokal yang sesungguhnya dapat dikembangkan untuk menghasilkan estetika yang sangat dalam, dengan jalan pengembangan konsep budaya (dalam hal ini seni) tradisi melalui berbagai penelitian yang mendalam tentang potensi tradisi. Dengan melihat potensi tersebut, maka dapat dikembangkan pula pemikiran-pemikiran estetika yang baru serta mereinterpretasikan ke dalam kontek yang baru, sehingga budaya (dalam hal ini seni) tradisi mampu menghasilkan inovasi yang ingenious untuk dapat menandingi inovasi yang dibawa oleh produk modern dengan menekankan pada komersialisasi serta cenderung menjadikan seni budaya (dalam hal ini seni) tradisi menjadi bagian dari industri budaya.

C. REPOSISI BUDAYA TRADISI

Dewasa ini seni tradisi menjadi bahan kepentingan suatu kelompok tertentu, dimana satu sisi ada kepentingan ekonomi dan sisi lain menjadi obyek kepentingan kekuasaan. Budaya tradisi dijadikan sebagai kepentingan komoditi oleh industriawan untuk mencari keuntungan, di sisi lain sebagai media untuk mencari kekuasaan dengan mengeksploitir seni tradisi menjadi alat propaganda. Dengan demikian budaya (dalam hal ini seni) tradisi termasuk batik tidak pernah menjadi kekuatan budaya yang berdiri sendiri serta tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan yang memiliki daya tahan hidup serta kekuatan sendiri.

Akibat dari masalah tersebut, yaitu budaya tradisi, termasuk seni tradisi mengalami dilema, di satu sisi mengharuskan seni tradisi harus hidup dan bertahan, sehingga diperlukan suatu pesona dan daya tarik dalam masyarakat Di sisi lain, budaya (dalam hal ini seni) tradisi sekali melangkah dalam inovasi serta perubahan, maka budaya (dalam hal ini seni) tidak dapat disebut sebagai tradisi lagi serta terseret arus komersialisasi, walaupun budaya tradisi, termasuk batik tradisi dapat melakukan transformasi bentuknya. Ini semua diakibatkan oleh pengaruh industri global yang mau tidak mau serta senang tidak senang harus diterima dalam kehidupan budaya (dalam hal ini seni) tradisi dewasa ini.

Konsep yang harus segera dilakukan dalam budaya (dalam hal ini seni) tradisi dalam masyarakat lokal adalah membuat reposisi budaya dalam era globalisasi.

Globalisasi di bidang ekonomi, informasi serta budaya telah mengakibatkan budaya (dalam hal ini seni) tradisi dituntut menempatkan dirinya ke dalam suasana baru. Karena era globalisasi menjadikan suatu interaksi serta pertukaran dan pengaruh kebudayaan sampai ke unsur-unsurnya. Posisi kebudayaan tradisi yang masih kuat akan memanfaatkan interaksi untuk tetap mempertahankan identitasnya, tetapi budaya tradisi yang lemah akan cenderung mengikuti arus, ditransformasikan bahkan hancur dalam era globalisasi.

Diantara tarik menarik kekuatan di atas, budaya tradisi, termasuk seni tradisi berada dalam kekuatan tarik menarik kepentingan tersebut. Sehingga budaya (dalam hal ini seni) tradisi dituntut untuk melakukan reposisi budaya, yaitu mencari sebuah alternatif yang strategis dalam konstelasi perubahan jaman yang cepat ini. Dengan demikian budaya (dalam hal ini seni) tradisi yang dianggap statis, indiginasi dituntut untuk mendapatkan posisi yang baru dalam era globalisasi lewat kesadaran yang kritis.

Dengan melalui kesadaran yang kritis ini diharapkan budaya (dalam hal ini seni) tradisi dapat membangun kekuatan diri sendiri berdasar pada paradigmanya sendiri, serta memperkuat sistem dan prinsip yang bersumber dari lokal untuk ditawarkan melalui konteks yang global. Konteks reposisi semacam ini dianggap sangat perlu dan penting sebagai upaya dalam reposisi budaya, sehingga dapat membangkitkan kembali daya tarik serta rasa memiliki dalam masyarakat lokal yang telah diwarisi budaya tradisi, termasuk seni.

D. PENUTUP

Dalam merkantilisme budaya yang melanda saat ini, budaya (dalam hal ini seni) tradisi dalam memperkuat masyarakat lokal harus segera melakukan reposisi dalam era globalisasi. Dengan melalui kesadaran yang kritis ini diharapkan budaya (dalam hal ini seni) tradisi, termasuk seni batik tradisi misalnya dapat membangun kekuatan diri sendiri berdasar pada paradigmanya sendiri, serta memperkuat sistem dan prinsip yang bersumber dari lokal untuk ditawarkan melalui konteks global. Dengan demikian budaya (dalam hal ini seni) tradisi di dalam masyarakat Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya akan tetap eksis dan dapat bertahan serta berkembang sesuai dengan kekuatan lokalnya.

E. DAFTAR PUSTAKA

Anderson, B. R.O”G., Mythology and The Tolerance of The Javanese, Cornell Mo-

dern Indonesia, 1996

Buchari, S., 1995, Kebudayaan Jawa, Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.

Cassires, E., 1944, An Essay on Man: An Intoduction to A Philosophy of Human

Culture, Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

Hitchcock, M., 1991, Indonesian Textiles, Berkeley, Singapore: Periplus Education.

Hoop, V.D., 1949, Indonesische Siermotieven, Bandoeng: Gedrukt Door NV & Co.

Kalinggo Honggodipuro, KRT., 2002, Batik Sebagai Busana Dalam Tatanan dan

Tuntunan, Surakarta: Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia.

Mulder, N., 1996, Pribadi dan Masyarakat Jawa, Jakarta: Sinar Harapan.

Raga Maran, Rafael. 2000. Manusia dan Kebudayaan : Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Read, H., 1970, Education Through Art, London: University of California Press.

Sardjono, Maria A. 1995. Paham Jawa. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Soedarmono, 1990, Dinamika Kultural Batik Klasik Jawa, Sarasehan Kebudayaan,

Surakarta: Taman Budaya.

Susanto, S., 1980, Seni Kerajinan Batik Indonesia, Yogyakarta: Balai Penelitian dan

Pengembangan Batik dan Kerajinan.

Suseno, F.M., 2001, Etika Jawa, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.

Kayam, U., 1981, Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan.

Yasper Y.E., Mas Pirngadie, 1916, De Batik Kunst, Nederlansche Indie: S’ Gra-

venhage

Yasraf Amir Pilaang, 2004, Makalah “Penguatan Seni Tradisi dalam Era Merkantil-

isme Budaya”, Surakarta: STSI Press.