ANALISIS SEMAR MELALUI LAKON – LAKON TERPILIH
(Tinjauan Dalam Budaya Jawa)
Sarwono
Jur. Kriya Seni, FSSR, Univ. Sebelas Maret
Abstract: For Javanesse people talking to Semar didn’t decrease to mythe to the narrow parokialisme, more than it talking we used certainly language, as in heritance culture themself as a mechanism to rich spiritual freedome really univers such as, each religion analysis in the world. Semar is as pioner, guardion, and take care of correctly.
Key word: Culture of Javanesse, Pupet Stories, Symbol
PENDAHULUAN
Dalam kebudayaan Jawa tidak dapat terlepas dari nilai-nilai falsafah, baik ke- jiwaan maupun pola pikirnya. Landasan inilah dalam berbagai pembahasan kebuda -yaan kejiwaan Jawa disebut “Kejawen” (Suseno, 2001: 11 – 15).
Sedang dalam unsur-unsur kebudayaan Jawa dapat meliputi kesusasteraan, sistem mata pencaharian, sistem kekerabatan, pola-pola menetap dan arsitekturnya,tata upacara juga keseniannya.Titik berat yang melatar belakangi kejawen adalah disebut“ngilmu” sehingga ilmu kejawen dapat menembus dan lingkungannya yang sempit menuju sifat- sifat umum dan universal Walaupun berlokasi yang sempit dan khusus yaitu Jawa, tetapi kebudayaan tersebut jauh menerawang dalam hidup dan kehidupan alam kemanusiaan. Dengan tujuan kebenaran dan kesempurnaan yang terkandung dalam kebudayaan Jawa yang bersifat falsafah itu terletak pada nilai-nilai simbolisme yang muncul akibat adanya kontak antara manusia dengan mikro kosmos dan makro-kosmos, antara kehidupan lahir dan kehidupan batinnya.
Apabila dilihat dalam kebudayaan Jawa khususnya unsur kejiwaan, maka terdapat suatu usaha atau ikhtiar untuk menjadikan manusia yang berbudi luhur dan suci dalam segala sikap batin dan tingkah lakunya. Budi luhur dan kesucian sikap batin serta tingkah laku merupakan nilai yang erat hubungannya dengan kehidupan lahir dan batin. Juga nilai-nilai tersebut timbul dikarenakan adanya hubungan antara hubungan manusia dengan Sang Hyang Illahi yang bersifat universal (Buchari S., 1995: 2 – 5).
Mengingat kehidupan manusia manusia harus dipandang tidak dapat lepas dari hubungannya dengan alam beserta hukum-hukumnya, serta dengan Sang Pencipta. Itulah sebabnya azas-azas yang harus selalu diperhatikan adalah azas kodrat hidup atau kodrat alam disamping azas kemanusiaan, kebangsaan, kemerdekaan , azas kebudayaan
Dengan pengertian kodrat alam dimaksudkan manusia harus dapat memenuhi segala keperluan hidupnya baik lahir maupun batin.Penguasaan ilmu pengetahuan bukanlah tujuan yang hakiki, tetapi hanya sekedar media dalam mencapai kesempurnaan hidup sesuai kodrat alamnya.
Disini jelas bahwa dalam kebudayaan Jawa dapat dilihat selalu adanya keseimbangan antara hati nurani yang berinteraksi dengan alam dan Sang Hyang Pencipta yang dilandasi penalaran yang timbul dari intelektual dalam materi “ngelmu”. Hati nurani , superitual manusia, dan intelektualitas bersambungan dengan Sang Hyang Pencipta.
Dengan demikian ketiganya selalu berhubungan dengan eratnya. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dalam karya-karya seninya, diantaranya seni pewayangan dengan berbagai wiracarita yang kesemuanya mengandung nilai-nilai falsafah yang termuat dalam simbolisme-simbolisme. Dengan maksud segala perbuatan manusia harus selalu mencari keseimbangan antara manusia dan alam, serta mencari kesempurnaan hidup dan kehidupannya (Mulder, 1996: 16 – 19).
Semar merupakan suatu simbol kunci dalam kebudayaan Jawa. Ia begitu penting, sehingga hampir semua orang Jawa menganggapnya sebagai dewa mitis tertinggi yang mengejawantah sebagai seorang abdi. Sebagai orang keluarga kera- jaan dan ia mempunyai kebebasan untuk bergaul dengan rakyat jelata, pertapa dan lainnya.
Kehadiran Semar dalam mite tentang cikal bakal orang Jawa dijelaskan o- leh Sumastuti, bahwa Semar telah dimasukkan ke dalam cerita wayang sejak abad XVI dan dipentaskan oleh dhalang dalam wayang. (Kusumadilaga, 1930). Ini menandai hidupnya kembali tradisi Jawa kuna perihal pemujaan arwah nenek moyang.
ANALISIS SEMAR DALAM KEBUDAYAAN JAWA
Semar menurut Sumastuti dikaitkan dengan kelima tokoh Pandawa; Yudistira, Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. menurut Sastra Jawa yang kena pengaruh India, Kunjarakarna, kelima tokoh tersebut titisan Panca – Kusuka. Dalam mite tentang asal usul konsep kosmologi Jawa, Panca – Kusika dianggap sebagai pemberi kehidupan, mereka dalam bentuk tembuni, air ketuban, darah, sumsum tulang dan tubuh manusia diumpamakan kulit, karena kulit pembungkus badan.
Keempat saudara dan kulit yang melambangkan individu itu merupakan manifes- tasi dari Panca-Kusika, satuan lima yang paling awal. Menurut konsep kosmologi Jawa juga disebut “sederek papat gangsal pancer”, yaitu bahwa manusia memiliki empat sifat yang salah satu sifat tersebut akan menonjol sesuai dengan hitungan hari kelahiran (weton). Keempat watak tersebut, yaitu watak luwamah dilambang- kan warna hitam, bumi dan arah timur,watak amarah dilambangkan warna merah, api dan arah selatan, watak supiyah dilambangkan warna kuning, angin, arah barat serta watak mutmainah dilambangkan warna putih, air dan arah utara (Soetarno, 2002: 27-28).
Sumastuti di dalam analisisnya banyak menggunakan banyak hal tentang simbolis me yang memperoleh tempatnya, sehingga ia menggunakan teorinya Ortner.
Ortner membagi simbol menjadi dua kelompok, yaitu simbol yang meringkas dan memperluas. Analisis ini cenderung menempatkan Semar ke dalam dua kelompok di atas dan merupakan suatu sarana untuk konsepsualisasi.
Ortner juga mengatakan bahwa suatu simbol tertentu merupakan focus dari minat budaya yang biasanya ditandai oleh lehih dari satu indikator, yaitu;
1. Orang pribumi menyatakan bahwa ‘X’ secara kultural penting.
2. Orang pribumi tampaknya memberi perhatian kepada ‘X’ entah secara positif
atau negatif bergairah tentang ‘X’ dari pada bersikap acuh tak acuh.
3. ‘X’ muncul dalam banyak konteks yang berbeda. Konteks – konteks tersebut
mungkin berhubungan dengan perilaku atau dengan sistem, dimana ‘X’ muncul
dalam banyak wilayah simbolik yang berbeda.
4. Ada perluasan kultural yang lebih besar di sekitar ‘X’, misalnya perluasan kosa
kata, ditail dari sifat ‘X’ dibandingkan dengan fenomena yang serupa dalam ke-
budayaan itu.
5. Ada batasan kultural yang lebih banyak di sekitar ‘X’.
Ortner membedakan antara dua tipe simbol kultural yang diuraikan sebagai beri -kut;
Pertama, istilah meringkas merupakan simbol yang dipandang sebagai menyimpul kan, mengungkapkan, menyajikan bagi pendukungnya, apa makna sistem tersebut bagi mereka dengan cara yang sangat emosional dan secara relatif tidak berdiferen siasi. Pada dasarnya merupakan sebuah kategori simbol keramat dalam artian pa- ling luas serta mencakup semua hal yang merupakan objek penghormatan dan / atau menjadi katalis atas emosi. Simbol yang memperluas dilain pihak, kerjanya berlawanan, yaitu menyediakan sarana untuk menyisihkan ide dan perasaan yang tidak berdiferensiasi dan kompleks, agar semua itu dapat dipahami sendiri oleh se orang individu, komunikatif bagi orang lain serta dapat diterjemahkan ke dalam tindakan yang tertib. Simbol yang memperluas mandapat status inti dalam kebuda yaan, karena simbol mampu menertibkan pengalaman, sehingga pada akhirnya a- nalistis. Simbol-simbol ini jarang yang keramat menurut artian konvensional seba gai objek penghormatanatau focus emosi, status sebagai kunci terutama ditunjuk- kan oleh terjadinya hal yang berulang – ulang dalam perilaku kultural atau sistem simbolik kultural.
Konsep simbol Ortner yang dipakai acuan penulis tidak menyingung ten- tang pemahaman dan penafsiran dalam sebuah objek penelitiannya. Padahal sim- bol menurut J. Habermas juga berkait dengan pemahaman serta penafisran dari se buah objek yang di teliti. (Thompson, J.B., 1983)
Analisis tentang simbol sebagai suatu tanda menurut Charles Sanders Pierce ada- lah sebuah tanda yang bersifat arbitrer atau semena-mena serta berdasar pada kese patan dalam masyarakat pendukungnya (Nort, W., 1990: 116). Sehingga pema -haman simbol dalam konteks tanda menurut Pierce berdasar pada interpretasi. Di mana interpretasi menurut Gadamer adalah ‘interpreted from interpreted’. Artinya simbol pemahamannya berkait dengan interpretasi dari sebuah interpretasi (Sumar yono, 1999: 77-82)
Ortner hanya menunjukkan bahwa tipologinya merupakan suatu konsep he uristik, bukan hermeneutik. Ini memberikan suatu kerangka yang membuat keru- mitan suatu sistem simbol kultural yang tidak dikenal baik dan pada hakekatnya dapat disisihkan. Ia menambahkan bahwa pemahaman yang cocok dari setiap sim bol terletak dalam suatu penelitian “holistik” dan mendalam tentang konteks kul -tural yang didalamnya simbol tersebut lebih berperan daripada dalam suatu tipolo gi universal atau suatu model teoritis. Konsep Ortner tentang penelitian holistik yang dipakai pegangan Sumastuti tidak memerinci secara mendetail tentang hal tersebut. Penelitian holistik menurut Soetopo, H.B., menjelaskan bahwa penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang memandang berbagai masalah tidak terlepas sendiri-sendiri, sehingga berbagai variable penelitian tidak bisa dipelajari terpisah dan saling keberkaitan dalam keseluruhan konteksnya. Bagian-bagian me miliki arti atau maknanya yang penuh apabila ia dikaitkan dengan kesatuannya. Makna kesatuan bukan sekedar merupakan jumlah atau kumpulan dari bagian-ba giannya. Dalam pengertian holistik semua unsur berinteraksi satu dengan lainnya. (2000: 19) Dalam membicarakan simbol kunci, Ortner menurut Sumastuti menggunakan dua pendekatan metodologis untuk menentukan simbol-simbol tertentu sebagai kunci sambil menjelaskan hal mengapa mereka menjadi kunci bagi suatu sistem kebudayaan.
Pendekatan pertama, melibatkan analisis sistem atau wilayah itu sampai ke unsur-unsur yang mendasarinya, misalnya distingsi, kognitif, orientasi nilai dan sebagai nya. Orientasi yang mendasari tersebut akan dijelaskan dalam analisis. Sementara peneliti mempelajari kebudayaan itu, beberapa tokoh tertentu mulai dari mengung kapkan unsur-unsur yang mendasarinya. Pendekatan kedua lebih lazim digunakan, yaitu peneliti mengamati sesuatu yang tampaknya menjadi minat kebudayaan dan menganalisisnya untuk menemukan maknanya.
Ortner dalam artikel teoritisnya telah menarik garis pedoman heurutis yang sangat cocok untuk menganalisis Semar sebagai suatu simbol kunci yang kom -pleks.
Garis-garis pedoman menurut peneliti, berguna karena, pertama; tipologi heruistik sangat cocok untuk menjelaskan sifat Semar. Kedua memberi kesan bahwa pema- haman yang cocok tentang simbol apa saja yang terletak dalam suatu studi holistik dan mendalam tentang konteks kultural yang didalamnya., simbol itu lebih berpe- ran dibandingkan usaha Eskamp memasukkan Semar ke dalam tokoh marjinal. Ke tiga, pendekatan metodologis untuk menentukan simbol – simbol tertentu sebagai kunci yang membuka jalas bagi peneliti untuk menemukan bahwa Semar terpen -dam dalam beberapa tipe satuan lima.
Semar Dari Konsep Victor Turner Tentang Keberadaannya Sebagai Orang Luar.
Peneliti juga melihat Semar dari konsep Victor Turner tentang keberadaan- nya sebagai orang luar. Walaupun Turner tidak pernah menyinggung tentang ceri- tera Semar, Eskamp dan Keeler menggunakan teorinya dalam analisis mereka. Menurut Turner orang luar adalah tokoh yang di tengah-tengah dan ia mengatakan bahwa keberadaan sebagai orang luar mengacu kepada kondisi:
1. Secara tetap atau karena pernyataan berada di tata struktural suatu sistem sosial
masyarakat tertentu.
2. karena secara situasional atau temporal disisihkan.
3. Dengan sukarela menyisihkan diri dari perilaku anggota – anggota sistem sosial
itu yang mempunyai status dan memainkan peranan di dalamnya.
Turner menurut Sumastuti menjelaskan bahwa hubungan antara keberadaan sebagai orang luar dan liminalitas. Liminalitas merupakan titik tengah transisi dari urutan status antara dua posisi. Keberadaan sebagai orang luar mengacu kepada tindakan dan hubungan yang tidak mengalir dari suatu status sosial yang diakui, tetapi berasal dari luarnya.
Liminal terjadi di tengah-tengah ritus peralihan yang menandai perubahan status sosial kelompok atau individu. Dalam liminalitas, hampir di mana-mana simbolis- me menunjukkan bahwa para inisian secara struktural, kalau tidak begitu maka se cara fisik menjadi tidak jelas masuk difinisi mana dari kebudayaannya.
Tokoh wayang yang bernama Semar, guru keluarga Pandawa dalam kenya taannya menjadi tokoh simbolik yang memberi petunjuk kepada inisian beserta pa ra hadirin tentang hidup dan permasalahannya.
Semar yang abdi sekaligus guru dan dewa, dalam kerangka Turner dapat di pan- dang cocok untuk dimasukkan ke dalam kategori “orang luar luar yang marjinal” serta di anggap ambigu.
Masing-masing cerita wayang yang di dalamnya tokoh Semar muncul menimbul- kan suatu peristiwa yang terjadi untuk pertama kalinya bagi para tokoh yang men dukung cerita tersebut. Dengan kata lain peristiwa tersebut merupakan simbol su- atu inisiasi serta para tokoh pendukung cerita itu menjadi inisian, karena para ini- sian tersebut berada dalam periode liminal mereka yang mengalami “awal” baru. Jika diadakan suatu pertunjukan wayang kulit, pertunjukan ini merupakan simbol inisiasi untuk merayakan awal baru.
Jelaslah bahwa ini bukan pandangan Barat tentang peran sebagai abdi, sebab bagi orang Jawa peran Semar sebagai abdi merupakan suatu metafora dari tugas yang sudah ditetapkan baginya, yaitu melayani dan melindungi umat manusia. Disini pe neliti sangat akurat dalam menerapkan teori Turner dalam mengkaji peran tokoh Semar, tetapi sebetulnya peran tokoh Semar tidak berhenti pada masalah itu saja. Dalam kajian epistemik tentang Semar memposisikan tokoh wayang tersebut seba gai Genosis, juga secara etimologi; Semar di anggap berasal dari istilah “samar”, artinya kabur, kabut atau tak terlukiskan (Stange, P., 1998: 65, Lombard, 1996: 134).
Semantik “tak terlukiskan’ membuka peluang Genosis pada eksistensinya yang di- kukuhkan oleh ciri-ciri pengetahuan genostik itu sendiri, seperti dipaparkan oleh William James dalam konsep “ineffability” atau tak terkatakan, “noetic quality” atau pemahaman, pencerahan namun juga pe-wahyu-an.
Hal ini mirip dengan pendapat R. Otto yang memberi ciri-ciri bahwa tak terkata- kan berhubungan dengan genotik bersifat tidak sensual, tidak intelektual, tidak konseptual, di mana kesadaran akan kemanunggalan, adanya sifat membahagia -kan, memberi kedamaian dan mencapai kebebasan (Surahardjo, Y.A., 1983: 10 -11).
Wacana tentang Semar dalam wayang bernilai genosis yang ditegaskan melalui di mensi pembebasan spiritual tersebut. Maka bagi orang Jawa membicarakan Semar bukanlah kemunduran ke takhayul parokialisme yang sempit, lebih dari itu membi carakannya adalah menggunakan apa yang semestinya menjadi warisan budaya mereka sendiri sebagai suatu mekanisme mencapai pembebasan spiritual yang su- ngguh-sungguh universal seperti juga analisis setiap agama di dunia (Stange, 1998 : 63). Semar merupakan tokoh pengawal, pamong, pembela kebenaran, bahkan to- koh wayang yang disertai Semar seperti Pandawa tidak bisa dikalahkan sebenar- nya bukan semata-mata kekuatan merena, tetapi juga mereka di antar oleh Semar, sehingga tokoh tersebut selalu berada dalam kebenaran. (Susena, F.M., 1998: 37).
Karakter Wayang dan Transformasi Menurut Keeler
Penulis kurang setuju, jika disebutkan bahwa pertunjukan wayang, meski- pun motifasi seorang tokoh ditinjukkan dalam tindakannya serta arti penting yang mendasari dan baru kelihatan ketika tokoh itu ganti rupa. Keeler tidak melihat pe -tunjuk yang tidak kentara tersebut untuk mengenali karakter, motifasi dan etika yang sebenarnya dari tokoh yang sedang berganti rupa itu.
Sebagai contoh pertunjukan wayang dengan lakon Wahyu Tejamaya, Begawan Durna berganti rupa menjadi Batara Kresna. Pendapat Keeler tentang hal ini kira -nya tidak sahih, karena ia tidak begitu banyak menjelaskan mengapa tokoh terten -tu perlu ganti rupa. Ia memberi suatu contoh melihat bahwa Batara Guru berganti rupa menjadi seorang pendeta dengan tujuan merundingkan kembali suatu ketetap an bersama antara Kurawa dan Pandawa, namun punya tujuan ganda. Batara Guru muncul bukan sebagai dewa, melainkan menyamar sebagai pendhita. Ia berpura -pura bekerja demi kebaikan semua pihak, padahal ia ingin memenangkan Kurawa. Dengan melakukan penyamaran Batara Guru sebetulnya menginginkan seorang putri Kurawa, tanpa mencemarkan citra dewa. Tetapi akhirnya ia kalah dan ketahu an oleh seorang ksatria yang tidak lain adalah dewa Ismaya (Semar) yang derajat -nya lebih tinggi dibandingkan dengan Batara Guru..
Menurut pendapat Keeler, wayang tidak mengobral otoritas etika yang mengikat. karena ia merasa bahwa transformasi hanyalah cara seseorang yang untuk semen -tara waktu melarikan diri dari tempatnya dalam herarki sosial. Analisis yang lebih dekat tentang malihan menunjukkan bahwa hasil malihan itu ditentukan oleh tuju- annya, yaitu untuk mengganggu tata tertib yang sudah memadai atau mengemba -likan ketertiban.
Pembicaraan Keeler tentang panakawan, ternyata ia mengatakan bahwa panaka- wan termasuk “non Struktural”, karena tidak punya tempat dalam peranan perila -ku yang patut. Keeler menginterpretasikan wayang sebagai penyajian berbagai pe- ran yang dimainkan manusia sebenarnya dalam masyarakat tradisional Jawa. Dengan kesimpulan ini Keeler menggiring untuk melihat para panakawan sebagai contoh manusia yang secara sosial sangat tidak sempurna.
Pendapat Keeler ini sebetulnya hanya melihat para panakawan hanya dilihak dari segi fisiknya saja. Padahal wayang serta certeranya banyak mengandung makna simbolisme yang terkandung di dalamnya. Termasuk keberadaan panakawan sebe tulnya merupakan sebuah simbol dari watak manusia, di mana watak tersebut digambarkan satu persatu lewat panakawan yang tidak sempurna, tetapi mereka se cara kesatuan saling melengkapi dalam jiwa manusia. Disina apa yang dinamakan konsep kosmologi yang dikembangkan dalam masyarakat Jawa.
Meskipun tulisan ini setuju bahwa banyak karakter wayang dijadikan contoh pe -ranan manusia normal, sehingga dapat ditarik kesan bahwa beberapa dari mereka menyimbolkan beberapa kekuatan yang lebih abstrak.
Disini dapat di lihat dalam wayang bahwa Arjuna dan atau Ksatria lain tidak dapat dipisahkan dengan sosok panakawan tersebut. Mereka tak dapat dipisahkan menu- njukkan bahwa satu pihak merupakan bagian integral pihak lain. Satu pihak ada -lah kesadaran yang merupakan suatu bagian penting dari pihak lain, yaitu kepriba dian manusia.
Apakah itu dalam jagad rasa yang terendah atau dalam kemampuan berfikir yang paling tinggi, ternyata cara kerjanya selalu begitu, yaitu memilih salah satu dari be berapa bahan yang disajikan sedemikian rupa agar mendapat perhatian dengan me berinya tekanan dan aksen serta sedapat mungkin menghapus yang selebihnya. Hal yang diberi tekanan selalu berhubungan dengan suatu kepentingan yang oleh kesadaran di anggap besar pada waktu itu (Kalupahana, 1987: 17).
Pandangan kesadaran ini menyebabkan kesadaran diakui kehebatannya, bahkan da lam hal yang berurusan dunia fisik jadi kepribadian psikofisikal yang diakui oleh Budha menekankan bahwa kesadaran tergantung pada kepribadian fisik dan juga pada kapasitas di pihak pertama untuk membentuk pihak ke dua tanpa menjadi se- kedar suatu wadah impresi.
Kembali kepada ksatria yang disimbolkan Arjuna dalam wayang, ia adalah kepri- badian fisik dan para abdinya adalah kesadaran yang bergantung kepadanya. Dengan kata lain kesatuan antara Arjuna dengan para panakawan membentuk ma- nusia yang utuh. Disinilah konsep Jawa tentang “sederek papat lima pancer” ter -simbolkan dalam wayang tersebut (Kartosoedjono, 1950: 14 – 23).
Semar Tokoh yang Ganjil Menurut Pandangan Eskamp
Menurut Sumastuti, teori Eskamp tentang Semar dalam bukunya yang berjudul “Semar As Trickster: Wayang As a Multi-Classificatory Representation of Ja -vanesse Society” (1976), didasarkan pada karakteristik Ture, penipu dari Azande. Ture tidak terikat pada tempat, waktu dan bentuk atau kedudukan serta demikian halnya dengan Semar.
Ture itu abnormal dan ganjil, Eskamp menggambarkannya sebagai tokoh tengah , tidak alami tetapi suci, karena ia mengasosiasikan dirinya dengan dewa-dewa, jin dan makluk dunia, manusia serta hewan. Ture menengahi antara ketertiban yang berdiferensiasi dan kekacauan. Ia mampu berbuat demikian karena lahir dari ayah yang makluk halus dan ibunya yang seorang manusia, maka ia bukan dewa juga bukan manusia, demikian halnya tentang Semar,
Menurut Eskamp, si penipu itu adalah semangat kekacauan yang merupakan bagi- an dari totalitas kehidupan. Ia merasa bahwa Semar sebagai halnya Ture, mempu -nyai satu kecenderungan alami ke arah kekacauan. Ditambahkannya bahwa Ture adalah kebalikan Mboli, yaitu dewa Agung Azande.
Dilihat dari semua derajat klasifikasi, menurut Eskamp bahwa Semar itu juga gan- jil, yaitu menurut klasifikasi hirarkis manusia, Semar merupakan seorang abdi dan penasehat kerajaan serta para pangeran.
Eskamp, memang merasa ada sasuatu yang penting dari Semar, tetapi ia tidak ber- usaha mencarinya lebih jauh. Ia sekedar menyatakan bahwa Semar itu seorang yang tidak jelas, ganjil serta tokoh tengah. Semar terlihat tidak lebih dari badut, na mun ia mengatakan bahwa dalam beberapa lakon seperti Semar Papa, dan lainnya, Semar mewakili tiga kepribadian. Yaitu sebagai seorang badut, juga seorang ma-kluk yang mempunyai kekuatan supraalami dan rakyat jelata.
Meskipun ada banyak perbedaan yang dikutip peneliti tentang konsep Eskamp an- tara Semar dan Ture, Eskamp tetap menggolongkan Semar dan Ture sebagai peni pu. Tetapi yang lebih membingungkan peneliti tentang pendapat Eskamp bahwa Semar mempunyai sifat toleran dan suka penghibur orang lain, sehingga ia tidak pernah merasa kawatir akan apa saja. Namun demikian, jika ia pernah menjadi ma rah, maka tak seorangpun dapat meredakannya.
Eskamp juga berpendapat bahwa Semar merupakan seorang perantara mistik yang diwakili oleh dhalang, serta seorang pelawak di samping majikannya yang bangsa wan itu. Semar menjadi penengah antara raja yang mistik dan mereka yang dipe -rintahnya.
Penjelasan Semar tentang transformasi Semar dalam berbagai konteks ti -dak lebih dari suatu usaha untuk menunjukkan bahwa ia tidak terikat pada bentuk apapun. Eskamp gagal menjelaskan mengapa Semar perlu mengubah diri, karena Ture dikatakan jahat dan licik, sehingga Eskamp menarik kesimpulan bahwa trans formasi itu dilakukan oleh Semar dengan tujuan jahat dan licik. Analisis Eskamp menurut peneliti, kiranya sama sekali tidak lengkap serta salah arah, karena ia ti -dak menggunakan sumber terpenting dalam menganalisis, yaitu tentang lakon – la kon baku daalam cerita wayang di Jawa. Karena kurang data tentang lakon wa -yang inilah, maka Semar menurut Eskamp tidak lebih dari seorang penipu dan se- kedar badut yang bertindak sebagai penengah. Selain itu mungkin Eskamp tidak terjun langsung ke lapangan dalam menganalisis tentang Semar, karena kebanyak- an para antropolog dalam menganalisis penelitian etnografi pada waktu itu banyak dilakukan di belakang meja. Sehingga datanya kurang akurat dan lemah, disebab- kan data tentang lakon-lakon wayang baku juga diabaikan oleh Eskamp. Inilah sa tu sebab mengapa Eskamp tidak dapat melihat tujuan Semar melakukan transfor- masi. Eskamp melihat bahwa hanya ada satu bentuk yang bernama Semar dalam transformasi itu mempunyai bentuk dan nama yang berbeda. Dalam lakon wayang , memang setiap bentuk dan nama mempunyai suatu arti penting tertentu yang ber beda dari tokoh lainnya.
Pendapat Eskamp lain yang dikutip peneliti bahwa Semar juga mempunyai sifat-si fat jantan, karena ia digambarkan menunjuk dengan jari-jari telunjuk. Pendapat Es kamp ini merupakan suatu analisis yang hanya melihat dari sisi fisik atau kulitnya saja. Sebab telunjuk jari – jari Semar sebetulnya ada makna simbolis di dalamnya, yaitu ia selalu berfikir di dalam setiap memecahkan atau menghadapi masalah ser- ta telunjuk satu jari mempunyai makna selalu ingat kepada Yang Khalik.
Saya huga setuju dengan pendapat peneliti bahwa suatu simbol sekomplit Semar, tidak dapat sepenuhnya di garap dalam suatu karya pendek seperti itu. untuk men- capai suatu interpretasi yang lebih lengkap serta secara kultural benar, maka kita harus melihat bukti penting dalam mengambil lakon, misalnya Mahabharata versi Jawa. Karena ceritera ini merupakan tempat paling penting dalam mengkaji mak -na simbol Semar dalam menyajikan dan mengembangkan teori.
PENUTUP
Semar dalam ceritera wayang bernilai genosis yang ditegaskan melalui di mensi pembebasan spiritual tersebut. Maka bagi orang Jawa membicarakan Semar bukanlah kemunduran ke takhayul parokialisme yang sempit, lebih dari itu membi carakannya adalah menggunakan apa yang semestinya menjadi warisan budaya mereka sendiri sebagai suatu mekanisme mencapai pembebasan spiritual yang su- ngguh-sungguh universal seperti juga analisis setiap agama di dunia Semar merupakan tokoh pengawal, pamong, pembela kebenaran, bahkan tokoh wayang yang disertai Semar seperti Pandawa tidak bisa dikalahkan sebenarnya bukan semata-mata kekuatan mereka, tetapi juga mereka di antar oleh Semar, sehingga tokoh tersebut selalu berada dalam kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ismunandar, K.R.M., 1985, Wayang Asal Ususl dan Jenisnya, Semarang : Dahara
Prize.
Kartosoedjono, 1950, Kitab Wali Sepuluh, Kediri: Bukhandel Tan Khoen Swie.
Lombard, D., 1996, Nusa Jawa: Silang Budaya, Gramedia: Jakarta.
Nort, W., Handbook of Semiotik, Bloomington and Indianapolis: Indianapolis Uni
versity Press.
Soetarno, 2002, Pewayangan Dalam Budaya Jawa, Dewa Ruci, Surakarta: Sekolah
Tinggi Seni Indonesia Press.
Soetopo, H.B., 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: Universitas Se –
belas Maret Press.
Sumaryono, E., 1999, Hermeneutik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sumastuti S., 1990, An Analisis of Semar Through Selected Javanesse Shadow
Play Stories, American
Suraharjo, Y.A.,1983, Mistisisme, Jakarta: Pradnya Paramita.
Suseno, F.M., 1995, Wayang dan Panggilan Manusia, Jakarta: Gramedia.
Stange, P., 1998, Politik Perhatian: Rasa Dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta:
LKIS.
Thompson, J.B., 1983, Critical Hermeneutics, New York, London, Sydney: Cam-
bridge University Press.
Turner, V., 1982, The Forest of Symbols, Ithaca and London: Cornell University
Press.