Pendekatan Semiotika Pada Motif Batik Klasik Dalam Upacara Adat di Surakarta
oleh:
Sarwono
Dosen Kriya Tekstil, Fak. Sastra dan Seni Rupa,
Univ. Sebelas Maret Surakarta
Abstrak
Paradigm model of semiotic in symbolism value of clasic motif in the Surakarta style where is one method seeing for people thinking has been given support them. In the re alism it was purposed for seeing again abaut “symbolism sign” which was con- vieced but they were not able to touch because they live in the social comunity of Javanese.
Key word: Semiotic paradigm, Symbolism value, Clasic motifs, Surakarta tradition.
Pendahuluan
Berbagai bentuk pendekatan dalam kajian telah bermunculan seiring dengan kebutuhan dalam menelaah suatu permasalahan yang masing-masing mempunyai argumantasi ilmiah yang berbeda dan bahkan bertentangan. Salah satu adalah bentuk pendekatan dalam sebuah kajian “semiotika”. Bentuk pendekatan ini, walaupun pada akhirnya dimentahkan olek konsep yang lainnya, tetapi konsep ini minimal memberi pandangan lain tentang sebuah pendekatan yang dapat dijadikan acuan dalam sebuah penelitian pada umumnya dan khususnya penelitian di bidang seni.
Semiotika merupakan kajian perihal tanda – tanda (sign), sistem tanda dan cara bagaimana suatu makna ditarik dari tanda-tanda tersebut.
Ada dua cara pendekatan mengenai tanda yang secara umum diketahui, yaitu pendekatan oleh Ferdinand de Saussure (linguis Swiss 1857-1893) dan pendekatan Charles Sanders Peirce (filsuf Amerika 1893-1914)
Dilihat sudut orientasi akademis, Peirce mengembangkan sistemnya dalam kerangka filsafat, sedang kan Saussure dalam kerangka linguistik. Sehingga pendekatan pada tulisan ini ditekankan pada sistem semiotika yang dikembangkan Peirce, karena secara terperinci mempersoalkan sifat dan hakekat tanda dalam kaitannya dengan keseluruh an realitas sebagai permasalahan teori pengetahuan.
Pendekatan diatas dengan model analisis semiotika untuk obyek kajian yang berupa Makna Simbolism Motif Batik Klasik Gaya Surakarta yang masih hidup dan berkembang di masyarakat khususnya di Jawa. Sehingga pendekatan kajian semiotika lebih diarahkan pada kajian analisis simbolisme. Yaitu suatu makna yang terdapat dalam motif batik klasik hasil dari gagasan, hasrat, kepercayaan, pendirian, pengalaman, serta abstraksi tertentu, termasuk pula proses kreatif dan teknik produksi dalam bentuk yang dipaha- mi serta dihayati dalam masyarakat.
Pendekatan semiotika dalam kajian simbolisme mengarahkan pada motif klasik gaya Surakarta, dengan tujuan untuk mempelajari tanda-tanda yang masih hidup dan berkembang dalam imajinasi masyarakat Jawa dan pendukungnya. Sebagai sesuatu yang ada serta dihayati dan dipahami semacam realitas dalam masyarakat, tetapi tidak nampak sebagaimana layaknya benda – benda material. Pokok permasalahan ini lah yang oleh Peirce dinamakan Semiotika simbolis ialah sebuah komposisi tertentu yang konstruksinya berdasarkan atas tanda-tanda yang telah terekspresikan dan hadir sebagai sebuah realita.
Pendekatan kajian ini, sebelum mengarah pada analisis yang lebih mendalam, dibawah ini akan diuraikan terlebih dahulu mengenai pembagian semiotika menurut Peirce terdapat sistem Tripihak (Triadic System). Konsep tanda menurut Peirce dikembangkannya atas dasar pandangan bahwa realitas terbagi atas tiga kategori uni- versal, yaitu “kepertamaan” (firstness), “kekeduaan” (secondness) dan “keketigaan” (thirdness). Kepertamaan merupakan kondisi eksistensi sebagaimana adanya tanpa acuan kepada sesuatu yang lain. Noth (1990) menjelaskan lebih lanjut bahwa kategori ini adalah “ the cate- gory of the undifferentiated quality and independence”. Sedang yang dimaksud kekeduaan merupakan “category of kompari son, faciticity, action, re ality, and experience in time and space”.Dan keketigaan merupakan “category of me diation, habit, memory. continuity, synthesis, communication, represen-tation and sign”. Dari penjelasan tersebut Peirce dapat mengembangkan suatu tipologi tanda yang sangat rumit. Namun dalam keperluan pendekatan disini, uraian dibatasi pada tipologi yang paling berpengaruh, yaitu menyangkut hubungan antara representamen atau tanda dengan obyek atau referent. Dengan demikian “ikon” termasuk kategori kepertamaan, “indeks” dalam kategori kekeduaan dan “symbolism” dalam kategori keketigaan.
Sifat-sifat yang dimiliki setiap unsur dalam hubungannya dengan unsur yang lain dari sistem semiotik itu sedikit banyak menentukan bidang-bidang yang dapat diaplikasikan. Jadi ikon merupakan hubung an persamaan antara tanda dan referen secara efektif dapat digunakan dalam wujud visual. Sedangkan indeks merupakan hubungan per sentuhan (contiguity) antara tanda dan obyek (referent) sangat komu nikatif dan bersifat rasional. Dan symbolisme lebih berperan dalam mempresentasikan atau mengacu pada proses berfikir yang berhubungan dengan designatasi bersifat arbitrer, sehingga pada prinsipnya segala sesuati yang ada di sekelilig kita: apakah itu benda, kejadian dan pertalian yang eksistensinya terlepas maupun dibuat oleh manusia dapat saja dija dikan simbolism.
Ketiga ide dari pembagian kategori tersebut telah mencakup keberadaan tanda bathin dan konseptual serta tanda lahir atau wujud. Dalam mengamati wujud tersebut secara mendalam harus dilakukan studi empirik dan lebih menekankan pada observasi partisipatif.Pendekatan kajian ini bercirikan interaksi sosial antara pengkaji dalam subyek yang berinteraksi dengan lingkungan subyek.
Motif Batik Klasik Sebagai Simbolisme Kepribadian Masyarakat Jawa
Dalam kebudayaan Jawa tidak dapat terlepas dari nilai – nilai falsafah, baik kejiwaan maupun pola pikirnya. Landasan inilah dalam berbagai pembahasan kebudayaan kejiwaan Jawa disebut sebagai “Kejawen”. (Suseno, 2000)
Titik berat yang melatar belakangi kejawen disebut “ngilmu”, sehingga ilmu kejawen dapat menembus dalam lingkungannya yang sempit menuju sifat-sifat umum dan universal. (Holt, 2000)
Walaupun berlokasi yang sempit dan khusus yaitu Jawa, tetapi kebudayaan tersebut jauh menerawang dalam hidup dan kehidupan alam kemanusiaan. Dengan tujuan kebenaran dan kesempurnaan yang terkandung dalam kebudayaan Jawa yang bersifat falsafah itu terletak pada nilai-nilai simbolisme yang muncul akibat kontak antara manusia dengan mikro-makro kosmos, antara kehidupan lahir dan kehidupan bathinnya.
Apabila dilihat dalam kebudayaan Jawa khususnya unsur kejiwaan, maka terdapat suatu usaha atau ikhtiar untuk menjadikan manusia yang berbudi luhur dan suci dalam segala sikap bathin dan tingkah lakunya. Budi luhur dan sikap kesucian bathin serta tingkah laku merupakan nilai yang erat hubungan nya dengan kehidupan lahir dan bathin. Juga nilai-nilai tersebut timbul dikarenakan adanya hubungan antara manusia de ngan manusia dan manusia dengan Sang Hyang Illahi yang bersifat universal.
Mengingat kehidupan manusia harus dipandang tidak dapat lepas dari hubungannya dengan alam beserta hukum-hukumnya, serta dengan Sang Pencipta. Itulah sebabnya azas-azas yang harus selalu diperhatikan adalah azas kodrat alam disamping azas kemanusiaan, kebangsaan, kemerdekaan, azas kebudayaan. Dengan pengertian kodrat alam dimaksudkan manusia harus dapat memenuhi segala keperluan hidupnya baik lahir maupun bathinnya. Disini jelas bahwa dalam kebudayaan Jawa dapat dilihat selalu adanya keseimbangan antara hati nurani yang berinteraksi dengan alam dan Sang Hyang Pencipta yang dilandasi penalaran yang timbul dari intelektual dalam materi “ngelmu”. Hati nurani seperitual manusia dan intelektualitas bersambungan dengan Sang Hyang Pencipta. Dengan demikian ketiganya selalu berhubungan dengan eratnya dan tidak dapat dipisahkan dalam hidup dan kehidupan orang Jawa. Dengan mak sud bahwa segala perbuatan manusia harus selalu mencari keseimbangan antara ma – nusia dan alam serta mencari kesempurnaan hidup dan kehidupan. (Mulder, 1996)
Dalam pendekatan kajian dengan semiotika merupakan suatu cara mencari rela si – relasi yang dapat mengungkap makna atau simbolism dalam kebermaknaan fung si sistemiknya.
Motif batik klasik menjadi bermakna jika telah menemukan relasi-relasi dalam lingkungan masyarakat , karena simbolisme yang dapat mendefinisikan dengan relasi dalam kepribadian dan jiwa masyarakat Jawa.
Simbolisme Motif Batik Klasik di Surakarta
Masyarakat sering mengistilahkan rancu istilah simbol dan simbolisme. Hal ini disebabkan keduanya diterjemahkan dengan istilah yang sama yaitu “lambamg”.
Simbol merupakan wujud visual sebagai hasil pembabaran langsung dari ide senimannya atas dasar kehidupan feelingnya yang paling dalam. Dengan demikian apa yang terkandung di dalam simbol merupakan nilai-nilai yang mencerminkan kehidupan feeling seniman. Karena simbol merupakan pembabaran langsung dari idea ,tentu didalamnya terdapat perpaduan bersifat heterogen antara yang spontan dan diungkapkan oleh jiwa.Perpaduan itu tentu saja tidak hanya dibina oleh rasio belaka te- tapi oleh seluruh kehidupan feeling yang paling dalam dan manifestasinya secara spontan atau dengan perkataan lain ekspresif. Sebagai wujud visual yang dibabarkan langsung dari idea dan mengandung nilai-nilai kehidupan feeling seniman, maka sim bol merupakan suatu kesatuan. Dalam bidang seni, simbol itu terbabar dalam karya seni. (Langer, 1962)
Stephane Mallarme mengatakan simbolisme sebagai seni yang membangkitkan sesuatu objek dalam proses sedikit demi sedikit, supaya sesuatu dapat mengeks -presikan dalam bentuk karya seni. Sesuatu objek yang dikatakan “sedikit demi sedikit” memberi maksud bahwa ada korelasi objektif, yaitu antara imajinasi seniman de- ngan suasana yang berkaitan dengannya, sehingga simbolisme dapat diartikan seba -gai seni untuk mengekspresikan ide serta emosi seniman berdasarkan pada pangalam an yang mengendap ke dalam sebuah karya (Chadwick, Ch., 1971: 1 – 3).
A.N. Whitehead dalam bukunya “Symbolism” mengatakan bahwa pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya menggunakan kesadaran, kepercayaan, perasaan dari gambaran mengenai kom- ponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat komponen yang terdahulu adalah “simbol’, sedang perangkat komponen yang kemudian membentuk makna dari sim- bol. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu disebut “referens” (1928:9).
Menurut Erwin Goodenough dalam telaahnya yang panjang lebar mendefinisi kan bahwa simbol merupakan karya atau pola apapun sebabnya, yang bekerja di da -lam manusia serta berpengaruh kepada manusia, melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang diberikannya. Se- lanjutnya ia membedakan antara bahasa yang bersifat denotatif, yaitu tepat ilmiah , harfiah, sedangkan bahasa yang bersifat konotatif ; yaitu berasosiasi, tidak persih te pat serta memungkinkan beragam penaf siran. Sehingga simbol menurut Erwin Good enough termasuk dalam kategori yang ke dua ini. Simbol memiliki maknanya sendiri dan bersama-sama daya kekuatan nya sendiri untuk menggerakkan kita. Pendekatan, referens yang bersifat intelektual semata-mata tidak diterima, bahkan daya kekuat an simbol lebih bersifat emotif dalam diri manusia, sehingga merangsang untuk bertindak dan dipandang ciri hakiki dalam masyarakat (1953:28).
Simbolisme merupakan simbol-simbol yang digunakan baik dalam bidang seni maupun yang lainnya, terutama untuk memberi tanda khusus pada benda atau dengan mensugestikan melalui imaji-imaji inderawi benda tersebut yang tidak dapat dilihat oleh inderawi. Sebagai contoh penggunaan kain batik klasik oleh seseorang yang disucikan atau dimuliakan, untuk menunjukkan kualita, kekuatan atau derajatnya. Menurut pendapat Read: simbolisme dapat saja berbentuk karya seni yang unsur-unsur pendukungnya menggambarkan analogi nilai – nilai dari karakter tertentu yang mewakili idea abstrak. Nilai-nilai ide abstrak itu akan membentuk kesatuan atau gestalte hubungan kualita, kekuatan dan derajat. (Read, 1970: 121 – 130)
Karya seni motif batik klasik dalam busana memuat dan memenuhi unsur-unsur di- atas, karena diciptakan dalam kesatuan kualita, kekuatan dan derajat pada waktu itu sebagai benda seni untuk melegitimasi kedudukan dan keberadaan kerajaan sebagai penguasa (Soedarmono, 1990)
Setiap penciptaan motif batik klasik pada mulanya selalu diciptakan dengan makna simbolisme dalam falsafah Jawa. Dan maksud dari usaha penciptaan pada jaman itu juga agar memberi kesejahteraan, ketenteraman, kewibawaan dan kemuliaan serta memberi tanda status sosial bagi si pemakai dalam masyarakat.
Makna menurut Umberto Eco adalah sebuah wahana tanda yang merupakan satuan kultural yang diperagakan oleh media-media tanda lain tentang relasi – relasi diantara obyek yang diacu. (Masinambow, dkk., 2001)
Mempelajari makna dalam pengertian teori Levi-Strouss merupakan sebuah kajian yang secara cermat diareakan pada keberadaan struktur yang ditransformasikan. Struktur akan memberikan penjelasan tentang kedudukan, fungsi, bentuk dan relasi-relasinya dengan sesuatu yang bersifat setara dan atau berlawanan. Tetapi dalam tataran struktur bathiniah akan menjadi acuan pokok. Sudah barang tentu jika orientasi mendasarkan dari komunitas tertentu tidak mengalami perubahan. (Ahimsa, 2002) Maka pertimbangan dalam memilih obyek kajian untuk pendekatan Semiotika ini lebih ditekankan pada budaya masyarakat yang relatif stabil, yaitu komunitas masyarakat Jawa di Surakarta.
Keberadaan batik motif batik klasik dalam komunitas kraton Surakarta tersebut menjadi salah satu elemen yang mendukung tata upacara, baik untuk spiritual atau- pun kegiatan sosial. Fungsi kain batik motif batik klasik sebagai bagian dari hajat hidup dalam lingkup keluarga adalah digunakan dalam bentuk penandaan dari suatu peristiwa atau suatu wahana untuk melakukan komunikasi yang bersifat sosial mau- pun spiritual. (Eric, 1983)
Keterkaitan fungsional ini yang akan memberikan suatu arah untuk mencermati tentang adanya “makna” atau “keberartian”. Berdasarkan pemikiran Levi-Strouss dalam mencermati adanya mitologi, yaitu suatu media untuk meneropong atau kaca pembesar maupun reflektor yang memungkinkan untuk dapat memahami dari dekat tingkah laku kegiatan akal budi dari seluruh jaringan aturan atau sistem dan arahan fundamental serta universalnya. Keutamaan dalam proses penataan semua material yang konkrit diambil dari realita dan sisa-sisa medium mitos lainnya. (Cremers, 1997)
Pikiran-pikiran tersebut termasuk dalam keberkaitan dalam proses kreatif seniman yang klasik, termasuk proses penciptaan wayang kulit purwa. Ini disebabkan sebuah proses penciptaan karya seni klasik pada umumnya tidak didukung oleh kerangka pengetahuan teknis dan koreografi, tetapi lebih banyak dilakukan oleh pemikiran liar se hingga seniman dalam melakukan proses kreatif seninya dengan tidak disadari.
Pemikiran bawah sadar atau tidak disadari inilah akan membentuk suatu konstruksi yang dapat menampakan relasi strukturalnya.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemikiran Levi-Strouss mengatakan para pemikir mistis tersebut (dalam hal ini termasuk seniman) akan menggunakan idium atau segala material konkrit, empiris, perseptual seperti persepsi terhadap kodrat yaitu gelap terang, hitam putih dan sebagainya.Keseluruhan masalah tersebut digunakan dalam me pertimbangkan atas dasar keterpaduan untuk memahami berbagai idea-idea yang ber sifat abstrak, yaitu mengenai relasi-relasi dari alam dan kebudayaan serta masalah eksistensi lainnya. (Ahimsa, 2001)
Adapum data-data empiris serta material konkrit dan persepsi yang bersifat konvensi onal juga dapat dipahami melalui tanda – tanda. Kemudian dari seluruh bahan mentah yang konkrit tersebut diatur dan dibentuk dalam konteks tanda dari obyeknya, yaitu dalam motif batik klasik. Sehingga relasi-relasi dari konstruksi membentuk suatu struktur, pola, atau kerangka dalam pemahaman permasalahan, sehingga dapat merefleksikan kondisi-kondisi yang universal dari proses berfikir yang tidak disadari atau bawah sadar.
Berdasarkan konstrusi seperti tersebut, yaitu berupa strukur, pola, disain yang merupakan suatu metode untuk memungkinkan pengkajian dalam menganalisis arti dan makna atau simbolisme dalam motif batik klasik yang diterapkan pada busana adat di Surakarta.
Tata kerja semacam ini yang menunjukkan suatu proses berfikir induktif dengan menggunakan pendekatan dalam proses berfikir yang bersifat menyeluruh dan komplek. Artinya dalam pemahaman obyek tidak hanya dilakukan dengan mengamati unsur-unsur organik dalam sistem relasi-relasi antar unsur material saja, tetapi juga memper timbangkan aspek diluar yang masih ada kontek dan memiliki kaitan yang signifikan dan relevan dalam hubungannya dengan keberadaan tanda yang berupa simbolisme motif batik klasik dalam busana adat di Surakarta.
Semiotika – Simbolisme Motif Batik Klasik Dalam Busana Adat di Surakarta
Dalam kehidupan realitas dan bersifat komplek menjadi permasalahan tersendiri untuk dapat menghayati dengan seksama, oleh sebab itulah para sosiolog pada abad 19 seperti Augus Comte dan H. Spencer membuat analogi bahwa bahan dalam kehidupan sosial seperti halnya suatu organisme biologis. (Koentjaraningrat, 1987)
Kemudian dalam perkembangannya menjadi teori semiotika dengan tokoh Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Pokok dari teori semiotika merupakan pene- kanan tanda pada sebuah kenyataan mekanistis dari sebuah sistem dan diartikan seba gai komponen kesatuan dari unsur-unsur yang saling berinteraksi dalam jangka wak- tu tertentu dan atas dasar pada pola tertentu pula unsur-unsur tersebut membentuk kebudayaan.
Pemahaman permasalahan tersebut menyadarkan adanya tanda dari kebudayaan yang tidak hanya sebagai akibat dari kegiatan interaksi masyarakat dengan masyarakat lain atau masyarakat dalam institusi sosial. Tetapi kebudayaan dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang akan membentuk cara berfikir dan bertingkah laku, yang pada tataran realitas material akan nampak berbagai bentuk variasi, tetapi pada kenyataan struktur bathiniah akan menunjukkan suatu kesamaan pandangan serta kepribadian yang disimboliskan. Seperti yang nampak pada motif batik klasik pada busana adat Jawa secara material kelihatan bervariasi bentuknya, tetapi secara struktural bathiniah dibentuk oleh adanya simbolisme dari kepribadian masyarakat Jawa dan khususnya adat istiadat karaton Surakarta.
Seperti halnya dalam metologi atau sebuah puisi atau syair dan lainnya, yang tidak memiliki wujud fisik, tetapi didalamnya memiliki sebuah sistem yang komplek dan rumit. Demikian juga motif batik klasik yang tidak hanya sebuah realitas fisik, tetapi sebuah bentuk dari hasil pemikiran yang bersifat kolektif. Sifat kolektifitas tersebut menunjukkan adanya kompleksitas idea-idea yang tersembunyi dalam simbolisme, sehingga dapat dijelaskan bahwa simbolisme motif batik klasik dalam busana adat di Surakarta merupakan kenyataan dari gejala “superorganik. Yaitu realitas yang divisualkan dalam berkesenian bukan saja material,tetapi menurut Suzanne K. Lenger se bagai bentuk “virtualitas”, ialah sesuatu yang ada tetapi tidak dapat diraba, hanya dapat dirasakan keberadaannya. Inilah yang disebut sebagai hakekat dari imitasi atau disebut dengan istilah naluri fundamental serta fakta intim dalam kodrat manusia.
Seperti motif batik klasik dalam busana adat Jawa, penggunaannya disesuaikan dengan kedudukan sosial atau status dalam tatacara atau adat istiadat sebuah karaton, misalnya motif parang rusak barong harus diterapkan pada busana raja, motif parang kusuma dipakai para putra Dalem dan lainnya.Mengingat secara material, jenis motif batik klasik bervariasi. Kesemuanya mempunyai arti simbolisme dan berbeda penerapan dalam busana adat di Surakarta.
Kenyataan tersebut dimaksudkan untuk melihat kembali tentang konsep tanda simbolis yang diyakini tetapi tidak dapat diraba. Kenyataannya ada dan hidup dalam sebuah komunitas Jawa. Karena hanya dengan komunitasnya dapat berinteraksi dan beraktifitas dengan masyarakat dan lingkungannya termasuk dalam berkesenian.
Tanda lahiriah merupakan suatu hasil pengamatan secara teknik dapat ditransformasikan kedalam bentuk catatan dari beberapa jenis batik klasik dan penerapannya dalam busana adat di Surakarta. Namun dalam struktur bathiniah merupakan suatu penemuan dari kemampuan pengkajian dalam menemukan adanya suatu konstruksi pikir sebuah masyarakat di Surakarta. Jika tanda-simbolis yang digambarkan tersebut benar ada, maka struktur itulah yang menuntun seluruh pola, tingkah laku termasuk pola kreatifitas seniman.
Semiotika simbolis ini yang menjadi sasaran akhir untuk menjelaskan tentang pola pikir bawah sadar masyarakat Jawa yang mendukung terciptanya sebuah karya seni dimaksud. Sehingga letak kebermak- naan semiotika sebagai sebuah pendekatan terletak pada upaya menggambarkan secara simbolis. Artinya pengkajian dapat dengan siste- mik mampu menunjukkan makna motif batik klasik dalam busana adat kraton Surakarta yang terselubung dan tersebunyikan tanda tertentu dalam sebuah komunitas masyarakat Jawa.
Penutup
Model pendekatan Semiotika – Simbolisme pada pengkajian motif batik klasik dalam busana adat di Surakarta adalah sebuah cara untuk melihat ada nya suatu pola pemikiran masyarakat Jawa yang mendukungnya melalui tanda-tanda simbolisme dari bermacam motif batik klasik, sehingga tanda tersebut merupakan suatu bentuk konstruksi yang berhasil dibangun oleh masyatakat Jawa dalam lingkup kraton di Surakarta.
Penggunaan motif batik klasik dalam busana di lingkungan masyarakat Surakarta ada maksud yang tersirat dan tersurat didalamnya. Yaitu penggunaan motif batik klasik dimaknai sebagai tanda status sosial, makna dan harapan suatu tujuan si pemakai, misalnya harapan kekuatan, kemenangan, kesejahteraan pada waktu itu. Inilah mak- na simbolisme yang tertuang dari berbagai jenis morif batik klasik dalam busana adat di Surakarta.
Pemahaman tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kenyataan yang selama ini dengan serta merta disadari atau tidak menjadi bagian realitas masyarakat Jawa. Pemikiran ini dapat memberi pertimbangan dan analisis serta membuka pemahaman baru terhadap tindakan-tindakan, baik sebagai masyarakat, pengkaji sebagai seniman dalam menghadapi perkembangan dinamika dalam komunitas yang sangat komplek dan juga mengakibatkan perubahan yang cepat pula dalam masyarakat di era globali sasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, H.S., 2002, Tanda Simbol Budaya dan Ilmu Budaya, Makalah, Yogya
karta: Unit Pengkajian dan Pengembangan Budaya.
Ahimsa-Putra, H.S., 2001, Strukturalisme Levi-Strouss, Yogyakarta: Galang Press.
Chadwick, C., Symbolism, London: Muthuen & Co. Ltd., 1972
Cazeaux, C., 2000, The Continental Aesthetics Reader, London, New York:TJ. Inter-
national Ltd.
Cremers, A., 1997, Antara Alam dan Mitos, Flores: Nusa Indah.
Dillistone, F.W., The Power of Symbols, London: SCM. Press Ltd., 1986.
Effendi, Z.N., 1977, Unsur Islam Dalam Pewayangan , Bandung: PT. Alma Arif.
Erik, R.W., 1983, Petani Suatu Tinjauan Antropologis, terjemahan: Tim Yayasan Il-
mu-Ilmu Sosial, Bandung: Rajawali.
Feldman, E.B., 1967, Art as Image and Idea, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Freud, Sigmund, 1918, Totem and Taboo, New York: Vintage Books.
Gadamer, H.G., 1976, Philosophical Hermeneutics, Berkeley, CA.: University of Ca-
lifornia Press.
Goodenough, A.N., 1953, Jewish Symbols in the Graeco Roman Period (jilid 4), Pan
theon Press, New York.
Holt, C., 2000, Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia, terjemahan: Soedar
sono, Bandung: Arti Line.
Kaplan, D., Manners, A.A., 2000, Teori Budaya, terjemahan: Landung Simatupang,
Yogyakarta: Pustaka Fajar.
Koentjaraningrat, 1987, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Langer, S.K., 1962, Expressivenes and Simbolism, London:
Masinambow, E.K.M., Hidayat, S., 2001, Semiotik, Jakarta: Balai Pustaka.
Mulder, N., 1996, Kepribadian Dan Masyarakat di Jawa, Jakarta: Pustaka Sinar Ha-
rapan.
Noth, W., 1990, Handbook of Semiotics, Bloomington and Indianapolis: Indiana
University Press
Read, H., 1970, Education Through Art, London: University of California Press.
Soedarmono, 1990, Dinamika Kultural Batik Klasik Jawa, Sarasehan Kebudayaan,
Surakarta: Taman Budaya Jawa Tengah.
Sadjiman, P., dkk., 1996, Serba-Serbi Semiotika, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka
Utama.
Suseno, F.M., 2001, Etika Jawa, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Van Zoest, A., 1993, Semiotika (terjemahan: Ani Soekowati), Jakarta: Yayasan Sum
ber Agung.