FENOMENOLOGI DAN HERMENEUTIKA

oleh

Sarwono

Jur. Kriya Tekstil, FSSR, Univ. Sebelas Maret

 

Abstract: Phenomenology and hermeneutics are distitinct but related theorities of experience or, more specifically, theories of how words relate to experience, and the latter concentrates on problems arising from textual interpretation, both deal in a fundamental way with our status as being whose existence is enabled and determined by particular physical and culture conditions. Originally defined, hermeneutics is the art of understanding and interpreting historical texts.

 

Key words: Phenomenologi, hermeneutics, art.

 

 

Fenomenologi dan Hermeneutika adalah teori pengalaman atau lebih khu -susnya teori tentang bagaimana kata-kata berhubungan dengan pengalaman, kedu anya berhubungan namun ada perbedaan.

Sementara yang pertama, memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedang yang kedua berkonsentrasi pada masalah – masalah yang muncul dari interpretasi tekstual, keduanya membicarakan cara dasar dengan sta -tus kita sebagai realita yang eksistensinya dimungkinkan dan ditentukan oleh kon- disi-kondisi fisik dan budaya yang melingkupi. Didefinisikan secara orisinal, her -meneutik merupakan seni pemahaman dan penginterpretasian tentang teks-teks historis.

Di dalam sejarah hermeneutika, ada tiga fase, yaitu: theologis, romantis dan feno -menologis. Dua yang pertama dicirikan oleh intensi untuk mengungkap arti “sebe- narnya” sebuah teks yang telah dituliskan pada jamannya, bebas dari mediasi atau pengantaraan dan distorsi terjemahan bersama berjalannya waktu yang mengang -katnya. Hermeneutika muncul pada abad enambelas, yaitu saat Reformasi dengan kepentingan Martin Luther untuk mendapatkan kembali arti orisinal tulisan – tulis an klasik.

Tiga abad kemudian, keinginan sebanding untuk mengetahui konteks yang mem -punyai kemungkinan berkembang di masa depan dan signifikan. Teks diwujudkan dalam romantisisme para teoritikus Sastra seperti Friedrich Ast., Friedrich D.E. Scheiermacher dan Wilhem Dilthey. Apa yang membedakan hermeneutika abad duapuluh atau diwakili di bawah ini oleh Heideger, Gadamer dan Vattino dari ben tuk-bentuk awalnya adalah pengenalan bahwa hermeneut sebagai penafsir teks ber akar di dalam sejarah. Akibatnya setiap interpretasi yang diberikan dari teks , tak masalah seberapa dekatnya ia menyatakan ingin mengidentifikasi kondisi -kondisi produknya akan selalu diawali oleh asumsi-asumsi dan perkiraan-perkira an yang dikonsepsikan secara historis, yang merupakan prakteknya sebagai hermeneut. Penghargaan sifat interpretasi tekstual, historis yang harus perspektif inilah yang menghasilkan teori “fenomenologi” – “hermeneutika” sekarang ini.

 

BERBAGAI PENDAPAT FENOMENOLOGI DAN HERMENEUTIK

Awal fenomenologi paling sering diidentifikasi dengan karya pemikir – pe mikir Jerman akhir abad sembilanbelas – awal abad dua puluh seperti Franz Bren- tano (1838 – 1917), Edmund Husserl (1859 – 1938), tetapi prinsip – prinsip yang mengatur, saya nyatakan terbukti pertama kali ada pada Kant.

Fenomenologi menyatakan bahwa kategori-kategori tentang filsafat telah memba- gi pengalaman pada masa lampau yang tidak cukup bagi pengalaman, karena kate gori-kategori harus mematahkan pengalaman yang berkelanjutan menjadi hal-hal dan membiarkan pemahaman permasalahan yang dihidupkan antara pikiran dan re alita itu lewat dan berlalu. Jadi perspektif-perspektif baru tentang pengalaman dita warkan, sehingga membuat sifat pikiran serta realita saling jalin menjalin sebagai “starting point”nya. Pengalaman, demikian pernyataan Brentano dalam “Psikologi dari Kehidupan Empiris” (1874) sebenarnya intensional, yaitu selalu terarah ke o- bjek. dan selalu mengalalmi sesuatu. Pengalaman adalah sedemikian, sehingga a- kan selalu ada isi dan yang lain dari mana kita sadar, tidak menjadi persoalan serta bagaimana tidak siapnya kita menjelaskan apa yang ada di depannya, misalnya ja- lan ini, pohon ini, merah ini, kebingungan yang berdengung ini, dan lainnya . Dari struktur pengalaman intensional, mendasar, dimana satu hal (pengalaman) dapat terbuka menjadi dua hal (pengalaman dari sesuatu), fenomenologi ditentukan un- tuk menjelaskan kembali penampilan – penampilan. Hesserl adalah yang pertama menjalankan redeskripsi fenomenologis terbesar dalam fenomena. Dalam tulisan-tulisannya ia mempunyai prinsip bahwa “ide-ide yang menyinggung fenomenolo- gi murni dan Filsafat Murni” (19130 dan “Meditasi Cartesian” (1931). Husserl me nerapkan reduksi fenomenologinya agar dapat memberikan ekspresi verbal pada kejadian-kejadian mental di saat kejadian-kejadian tersebut muncul pada kesadar -an, bebas dari komitmen terhadap eksistensi orang-orang lain, tempat-tempat lain, objek-objek fisik, sebab-akibat serta sehari-hari yang tidak kritis.

Dasar pemikiran yang tidak sama dari fenomenologi dan hermeneutika ada lah bahwa pengalaman memiliki karakter yang mempertanyakan, pengalaman bu -kan pemahaman dari isi yang dibentuk sebelumnya, tetapi bentuk prospektif atau penyelidikan. Sama seperti pertanyaan yang digambarkan dan menentukan tingkat jawaban – jawaban memungkinkan, demikian juga cara di mana kecakapan – keca kapan kita mendekati dunia membentuk bagaimana dunia tampak bagi kita. Seper- ti yang diperlihatkan Brentano, pengalaman memiliki strukturnya sebagai keterbu- kaan esensial yang menciptakan isi atau objek untuk dirinya sendiri, inilah yang di namakan “intensionalitas”.Dasar-dasar analisis pengalaman ini terletak pada Kant, deduksi transendentalnya dari “Kupasan Akal Murni” (1781, 1787) memperlihat -kan bahwa kondisi – kondisi kemungkinan subjektifitas yang ada pada satu waktu yang sama merupakan kondisi-kondisi kemungkinan objektifitas. Jika kita menga- nggap atau menjelaskan atau memahami sesuatu, kita tidak hanya menerima apa yang ada di sana , tetapi di dalam kebijakan tindakan yang menghasilkan sesuatu yang baru untuknya dan mengubah apa yang ada di sana. Inilah saling pengaruh -mempengaruhi aktif antara pikiran dan objek yang memberikan tekstur dan arti pa da pengalaman. Ini juga berlaku untuk objek-objek fenomenologi serta berlaku un tuk teks-teks hermeneutika.

Riset di bidang-bidang ini diberikan untuk perspektif – perspektif yang merupakan wawasan kami tentang dunia dan khususnya membuat cara yang dapat dipahami, di mana perspektif-perpektif ini aktif dalam menentukan apa yang kita anggap se – bagai realitas.Estetika khususnya signifikan di sini, karena estetika merupakan ben tuk pengalaman yang menguji atau melampaui pemahaman kontak budaya serta kognitif yang kita miliki dengan dunia.

Secara tradisional, estetika telah didefinisikan berlawanan dengan pemikir- an atau telah menyangkal determinasi kategoris secara bersamaan. Jadi bukan ha -nya bidang penyelidikan, di mana aplikasi konsep – konsep merupakan persoalan, tetapi persisnya juga karena estetika telah diberi kualitas marjinal atau yang berta- lian dengan tradisi yang merupakan bidang yang memungkinkan kita dapat meli – hat kondisi yang memungkinkan penilaian konseptual berjalan. Seni, bagi fenome nologi dan hermeneutika memberikan dasar di atas mana kita berdiri menjadi tam- pak.

 

Pendapat Martin Heidegger

Beberapa hubungan paling penting antara fenomenologi dan hermeneutika terjadi pada hasil karya Martin Heidegger (1889 – 1976). Sebagai seorang mahasiswa dari Husserl telah menjadi satu dari banyak filosof Eropa paling pen -ting abad duapuluh yang mempengaruhi pemikir-pemikir seperti Gastom Bache -lard, Hans George Gadamer dan Jaxques derrida. Namun demikian, ia adalah ang- gota aktif Partai Sosialis Nasional selama tahun 1930-an dan pada Perang Dunia II, sehingga inilah yang telah memberi warna pada ide – idenya di mata banyak o -rang.

Heidegger mempertegas pernyataan Kantian bahwa pengalaman bukan penerima -an kesan – kesan pemahaman, tetapi bentuk prospektif atau mempertanyakan agar memiliki pengalaman serta harus berada pada keadaan aktif untuk menemukan se- suatu tentang dunia. Dalam karya pokoknya “Badan dan Waktu” (1927), ia berta -nya apa arti badan ? Apa arti memiliki pengalaman yang menyembul ke dunia se -bagai manusia?

Pertanyaan distimulasi skema – skema metafisik Plato dan Aristoteles, tetapi sejak itu menurut Heidegger telah terlupakan. Gagasan badan menjadi biasa dan umum dan berlaku untuk sesuatu serta segala sesuatu dalam eksistensi. Namun demikian, apa yang beda tentang manusia, demikian menurut Heidegger adalah bahwa ben – tuk badan inilah yang merupakan persoalannya.

Melihat sesuatu, memahami dan menerimanya, memilih, mengaksesnya, semua ca ra berperilaku, ini konstitutif bagi penyelidikan kita, karena itu merupakan model-model badan untuk satuan-satuan khusus di mana kita sebagai peneliti adalah diri kita sendiri. Jadi untuk menjalankan pertanyaan badan dengan cukup, kita harus membuat satuan – penyelidik – yang transparan dalam badannya sendiri Mengajukan pertanyaan yang itu juga merupakan model badan satuan, dengan de- mikian ia mendapatkan karakter esensialnya dari apa yang diselidiki, yaitu badan.

Satuan tersebut, masing-masing dari kita adalah dirinya sendiri serta memasukkan pertanyaan seperti pertanyaan tentangkemungkinan-kemungkinan badannya. De -ngan demikian kita akan menyebutnya istilah “Dasein”.

Dasein adalah arti kata bahasa percakapan Jerman sehari – hari “ada di sana” atau pengertian eksistensi manusia. Fakta bahwa badan merupakan persoalan bagi kita sangat penting bagi thesis Heidegger. Sesuatu menjadi persoalan tulis Heidegger merupakan keadaan konstitutif badan dasein, serta ini menunjikkan bahwa dasein dalam badannya memiliki hubungan terhadap badan itu dan hubungan yang meru- pakan satu badan dirinya sendiri. Kita tidak hanya sadar akan dunia, tetapi sadar a kan fakta bahwa kita sadar akan dunia. Memahami badan, demikian pernyataan -nya; merupakan karakteristik pasti badan Daseinnya sendiri. Dasein secara ontical berbeda dari dasein ontologinya. Ontic merupakan istilah Heidegger untuk objek-objek dan kejadian-kejadian yang mencirikan pengalaman, tetapi ontologi menun- juk pada struktur pengalaman yang dalam bahasa logat Heidegger merupakan se -buah struktur ontic.

Apa yang membedakan Dasein dari jenis-jenis badan lain di dunia adalah bahwa karakternya serta karakter sendiri mewakili kemungkinan badan di sana dari jenis-jenis badan yang lain di dunia.

Heidegger sedang mengejar proyek penggambaran kondisi – kondisi ke -mungkinan pengalaman Kantian; yang mengatakan struktur – struktur yang harus berjalan di dalam dan di seputar pengalaman karena di sana akan ada pengalaman juga. Pengalaman mengambil bentuk pertanyaan, demikian kata Heidegger dalam pengertian bahwa di sana selalu harus menjadi mempertanyakan kemungkinan-ke mungkinan yang mendahului pengalaman, agar pengalaman dapat berlangsung. Sama seperti jenis pertanyaan yang diajukan mempengaruhi jawaban, demikian ju ga cara di mana kita mendekati realita yang mempengaruhi bagaimana pengalam- an muncul.

Dalam “Kant dan Problem Metafisika” (1929), Heidegger memperlihatkan bahwa pengalaman dimungkinkan dengan imajinasi yang memproyeksikan konsep objek pada umumnya sebagai wawasan kemungkinan serta membukakan ruang di mana objek-objek dapat muncul di depan kesadaran. Buku Kant demikian Heidegger me nyebutnya; mengembangkan beberapa hubungan yang jelas, namun tak pernah me nyelesaikan proyek ini. Konsep wawasan yang diproyeksikan oleh imajinasi sebe- lum pengalaman memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai sumber dan sta -tus imajinasi, tetapi ini akan diperkirakan serta tepat untuk teori, karena Heidegger maupun Kant sedang mulai membicarakan struktur – struktur dinamis yang me -mungkinkan hal-hal termasuk kesadaran menjadi badan di tempat pertama.

Jika pertanyaan badan telah terlupakan dan menjadi biasa, maka kita ha -rus menariknya keluar serta membuatnya tampak lagi. Fenomenologi, demikian pernyataan Heidegger merupakan metode penyelidikan di mana sesuatu di angkat ke dalam keterbukaan. Ia mendifinisikannya sebagai membiarkan “yang memperli hatkan dirinya sendiri terlihat dari dirinya sendiri. Dengan cara itu juga, ia mem -perlihatkan dirinya sendiri dari dirinya sendiri”. Namun demikian pengungkapan fenomenologis ini juga disebut hermeneutika, dalam dua pengertian;

1. Karena melibatkan interpretasi.

2. Karena kita sedang bekerja menuju pemahaman, bukan tentang bagaimana hal-hal ini tampak bagi kita, tetapi tentang bagaimana hal-hal itu tampak. Ketika Heidegger menulis penyelidikannya menjadi hermeneutika, untuk tingkat di mana dengan mengungkapkan arti badan dan struktur dasar Dasein pada umumnya kita akan memperlihatkan wawasan untuk suatu studiontologis satuan-satuan lebih lanjut yang tidak memiliki karakter Dasein, dengan kata lain, kita bekerja memotong kondisi – kondisi, yang mana kemungkinan suatu penyelidikan ontologis bergantung. Inilah hermeneutika dalam pengertian sekarang yang melampaui kedudukan subjektif seseorang untuk mendekati objektifitas.Inilah kenangan akan upaya Kant untuk menjamin objektifitas yang diberi investasi kemungkinan pengalamannya di dalam subjek. Kita dapat membuat per- bandingan dengan pembicaraan sekali lagi, serta mengajukan pertanyaan yang menimbulkan jawaban, meski jawaban dipenga ruhi oleh pemfrasaan pertanyaan, namun mewakili keinginan untuk mendekati pemahaman yang sama dan terdapat pada semua komunikasi.

Heidegger mengembangkan pemahaman ontologi baru dan cara di mana pengalaman serta dunia dibentuk dan diatur. Berdasarkan pada penyingkapan ser -ta pengungkapan yang membuka dan menutup, terlepas dari waktu saat kita terpe- sona dengan tingkat dan kompleksitas alam raya, kita biasanya mengambil eksis -tensi objek-objek itu hanya “di sana’, menunggu kita untuk menerima atau berinte raksi dengannya. Tirani, biasa sekali lagi Heidegger tertarik pada bagaimana hal-hal muncul bagi kita, tidak seperti pemahaman sumber dan perwakilan materinya, tetapi bagaimana hal-hal terikat dengan pengalaman subjektifitas kita dan arti ser- ta nilai-nilai, juga watak yang melibatkan pengalaman. Ontologi objek – objek be – bas, pikiran stabil kita sehari – hari, demikian tegasnya mempersyaratkan ontologi fundamental “a pior’ di mana hal-hal ditangkap atau dibuka. Sebelum hal-hal bisa eksis, harus ada kondisi-kondisiyang memungkinkan hal – hal muncul menjadi ba-dan atau membuat tampak di depan kesadaran.

Lima indera merupakan illustrasi yang bagus akan konsep pengungkapan Heidegger. Jika kita lihat, kita secara pasif tidak menerima apa yang ada di sana, di dunia. Bahkan proses-proses optik dan syaraf yang berjalan di dalam kita dapat menginterpretasikan dunia dengan menggunakan warna dan sebagai sesuatu yang secara terus menerus ada di sana. Mendengar, membuat dunia ada bagi kita de -ngan cara – cara alternatif, sehingga membuat kita sadar akan hal – hal yang belum tampak, misal orang yang menyanyi di pintu sebelah dan menyadari hal tersebut secara berselang-seling, yaitu; hanya jika mereka membuat suara. Bagi orang buta , hujan berperilaku seperti kilat, tetes hujan memantulkan bagian-bagian luar teks- tur dan kedalaman berbeda ke dunia yang tidak berciri dan bisu. Hewan – hewan berbeda dengan kecakapan pandang yang disesuaikan secara beda serta memiliki akses terhadap realita-realita daripada kecakapan kita. Bagi anjing, indera penci -uman yang tinggi membuat kejadian – kejadian yang dekat dengan masa lalu serta dekat masa depan lebih dapat dikenali dengan segera, juga lokasi gema yang seper ti sonar menempatkan kelelawar ke bentang darat impulsi – impulsi sonik yang di- pantulkan.

Teks yang mewakili Heidegger di sini adalah pada essainya “Asal Karya Seni” yang pertama kali diberikan sebagai rangkaian mata kuliah pada tahun 1935 dan 1936. Essai mendirikan tema yang menghubungkan empat essei pertama pada bagian ini Heidegger, Sartre dan Levinas semuanya membicarakan ontologi seni dan cara – cara beda, di mana seni dan bahasa menciptakan perspektif – perspektif baru tentang realita, sementara Dufrenne mengembangkan pernyataan Heideggeri- an bahwa karya seni mengangkat dunia ke dalam pandang. Heidegger membahas seni dengan menggunakan kebenaran dan ontologi pengungkapannya. Essei meng ikuti bagian 44 dari “Badan dan Waktu” dengan menunjuk ontologi Heidegger de- ngan konsep kebenaran Yunani Kuno sebagai “aletheia”.

Aletheia berarti ketidak – terungkapan badan, sebagai konsep kebenaran, aletheia berbeda dari dan secara logis mendahului, gagasan kebenaran Romawi kita yang konvensional sebagai veritas atau kesesuaian dengan fakta. Karena akan ada objek yang menyusun sifat- sifat persoalan, yang mana pernyataan – pernyataan kita bisa sesuai, maka harus ada kebenaran yang membiarkan objek-objek ini muncul terle- bih dulu.

Seni itu benar, kata Heidegger, di mana seni membiarkan kita dapat meli -hat ketegangan antara pengungkapan dan penyembunyian serta penyingkapan. Ia menyebut “konflik dunia dan bumi” ini sebagai “dunia” yang digunakan dalam pe ngertian bahwa setiap penyingkapan adalah membuka alam, yaitu alam pandang dan bumi adalah bidang yang disembunyikan dari mana dunia muncul. Karya seni menggerakkan bumi sendiri menjadi keterbukaan dunia dan menjaganya di sana. Kuil Yunani, demikian kata Heidegger, membuka dunia dengan menciptakan de -ngan menciptakan “konteks relasional”, “kelahiran dan kematian”, “bencana dan berkat, “kemenangan dan penghinaan”, “ketahanan dan penurunan”. Lukisan sepa tunya Van Gogh menghasilkan kehidupan berguna yang dimiliki sepatu bagi pemi liknya yang disebut oleh Heidegger sebagai “keperlengkapan dari perlengkapan”. Kita mengalami kebenaran seni aletheic sebagai bentuk “keituan”. Kita mungkin tidak dapat mengatakan apa tentang sebuah karya yang mengesankan kita, tetapi “itu’ tersebut ada di sana di mana kita merasa pasti. Rasa keituan menonjol, meng- hentikan kita pada jalan kita. Ini sesuai dengan proposal Kant bahwa inilah bagian dari pengalaman seni bagi kita yang akan dimotivasi untuk menemukan dunia ba -ru dalam menjelaskan pengalaman.

Pada hakekatnya ,bagi Heidegger: sifat seni adalah puisi. Bukan niatnya untuk membangun hirarki seni, seperti Hegel, dengan puisi berada di atas. Namun ia lebih menyatakan bahwa seni adalah yang paling benar, jika itu adalah puisi. Bahasa verbal, kata Heidegger adalah bentuk proyeksi yang pokok di mana ruang terbuka, memungkinkan objek tampak. Di dalam proyeksi, tulisnya pernyataan dibuat dari apa yang dinamakan badan-badan muncul menjadi keterbukaan. Jika kita menggunakan kata, kita sedang menarik asosiasi – asosiasi dan signifikasi yang merupakan perbincangan sehari-hari. Apa yang membuat penyair bekerja adalah karya dengan ini semua cara tidak membiasakan hal yang terbiasa dan membuat biasa menjadi tidak biasa. Pembuka muncul di dalam kebiasa- an wujud visual yang mengakibatkan kemungkinan-kemungkinan baru muncul dalam terang. Di dalam “ruang terbuka” proyeksi, Heidegger menulis; segala sesuatu lain dari pada biasa……………… segala sesuatu biasa, sehingga yang ada menjadi tiada. Metafora adalah contoh yang bagus dua kata yang familiar, tetapi tidak berhubung an dan dikombinasikan, sehingga menghasilkan deskripsi baru yang sering menga rah pada cara baru melihat objek yang dipertanyakan, misal “waktu adalah sungai, hujan adalah sinar mata”. Dengan menggerakkan ide-ide baru dari konsep-konsep lama merefleksikan pronsip hermeneutika. Pembicara yang melampaui perspektif-perspektif awal mereka melalui dialog. Heidegger tidak membicarakan metafora di sini, tetapi membicarakan topik yang kemudian pada “ Tentang Jalan ke Bahasa”(1959). Sifat bahasa jarang tidak ada dari pemikirannya, tetapi dalam es -seinya inilah yang mendapatkan perlakuannya yang paling detail dan terperinci.

 

Pendapat Gadamer:

Hermeneutik menurut Gadamer mempersyaratkan suatu aktivitas konstan dari interpretasi antara bagian ke keseluruhan yang merupakan suatu proses tanpa awal dan juga tanpa akhir. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti hanya dapat menyajikan suatu interpretasi atas interpretasi subyek yang di teliti, juga penelitian didasarkan a- tas nilai, minat, tujuan dari peneliti sendiri (1976).

Gadamer juga berpendapat bahwa hermeneutik adalah seni, bukan proses mekanik. Jika pemahaman merupakan jiwa hermeneutik, maka pemahaman tidak dapat dijadi kan pelengkap proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutik dapat diberlakukan sebagai sebuah pendekatan karya seni.

Hermeneutik harus menghasilkan suatu ensensi dalam, hal bathiniah yang merupakan realitas utama untuk mencapai kebenaran, di mana esensi dalam tersebut harus dipahami serta diungkapkan. Ia juga mengatakan bahwa interpretasi merupakan penciptaan kembali, meskipun bukan merupakan suatu kegiatan kreatif. Karena peneliti serta informan sebagai penafsir selalu memahami realitas sebuah karya. Namun apabila hermeneut berinterpretasi mulai dari titik tolak dari latar belakang budaya akan sa- ngat menguntungkan. Hal ini akan menimbulkan suatu percampuran cakrawala kebudayaan yang melingkupi, sebab tidak ada cakrawala budaya yang tertutup. Hakekat sebenarnya sebuah cakrawala adalah selalu meluas, sementara itu kebudayaan pada hakekatnya tidak selalu murni dan pernah dipalsukan, sehingga interpretasi memerlukan pula perpaduan dari bermacam cakrawala tersebut.

Gadamer menyebutkan pula bahwa setiap hal yang dialami, baik dialami oleh seni -man itu sendiri menjadi bagian dari makna yang termasuk dalam kesatuan dengan diri orang dan keseluruhan hidupnya. Persoalan sekarang ialah, bagaimana peneliti membuat interpretasi atas pengalaman seseorang yang dianggap tokoh masyarakat, karena pengalaman tersebut tidak dapat ditangani secara terpisah dari hal-hal lain. Disini ada percampuran cakrawala, yaitu pengalaman itu berada dalam konteks kehidupan masyarakat, atau kehidupan ini berada dalam konteks suatu kebudayaan dan juga dalam konteks zaman.

Bagi Gadamer, pertanyaan yang berhubungan dengan pentingnya waktu dalam pema haman dan interpretasi dapat menimbulkan lingkaran hermeneutik, karena proses pemahaman sebenarnya merupakan interpretasi itu sendiri. Gadamer juga berkeyakinan penerapan, seperti halnya pemahaman dan interpretsi merupakan bagian dari pendekatan hermeneutik.Karena penafsir dituntut mampu menerapkan pesan-pesan dalam teks maupun karya seni pada konteks ruang dan waktu yang sebenarnya.

Adanya antisipasi suatu makna yang terkandung di dalamnya atas seluruh pemahaman dan interpretasi dari bagian-bagian sebuah karya itulah yang di- harapkan dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan hermeneutik.

Pendapat Ricoeur hampir sama dengan Gadamer, ia mengatakan bahwa hidup itu sen diri penuh interpretasi. bilamana terdapat pluralitas makna, maka disinilah interpretasi dibutuhkan, apalagi simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi penting. Sebab disini terdapat makna yang mempunyai multi lapisan (1974).

Lebih lanjut ia menegaskan kupasan tentang makna tersembunyi dalam teks dan atau karya seni. Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna – makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan – lipatan dari tingkat – tingkat makna yang terkandung makna dalam sebuah karya.

Kata – kata merupakan sebuah simbol juga, karena menggambarkan suatu penjelasan makna yang berupa kiasan dan hanya dapat dimengerti melalui simbol. Jadi simbol -simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang mempunyai pluralitas yang terkandung di dalamnya.

Tampaknya yang hendak dikatakan oleh Recoeur adalah bahwa terdapat kebutuhan laten untuk mengungkapkan konsep-konsepnya. Kebutuhan laten tersebut adalah ke -butuhan akan hermeneutik. Namun Recoeur berpikir lebih jauh lagi, ia mengatakan setiap kata yang diucapkan merupakan sebuah simbol. Oleh karena itu kata yang diucapkan informan adalah penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Kemudian ia mengatakan bahwa hermeneutik bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut. Adanya simbol, mengundang kita untuk berfikir sehingga simbol itu sendiri menjadi kaya akan makna dan kembali pada maknanya yang sebenarnya (Thompson, J.B., 1982).

Setiap pendekatan hemeneutik membuat perbedaan serta penekanan yang tegas atas pemahaman, penjelasan dan interpretasi. Tetapi setiap hermeneut juga berbicara tentang sirkularitas ketiga hal tersebut, sehingga ketiga komponen saling me- nyuspi satu sama lainnya.

Menurut Recoeur terdapat tiga langkah pemahaman, yaitu sejak berlangsungnya proses penelitian dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang berfikir dari simbol-simbol yang di teliti. Langkah pertama, merupakan langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Langkah kedua, adalah pemberian makna simbol serta penggalian yang cermat atas makna, sedangkan langkah ketiga merupakan langkah berfikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Atas dasar langkah -langkah tersebut, Recoeur mengatakan bahwa pemahaman itu pada dasarnya merupa kan “cara berada” (mode of being) atau “cara menjadi ada”, sehingga cara pemaham- an peneliti selalu medapatkan bantuan dari wujud visual berupa sketsa – sketsa (gambar), peninggalan-peninggalan berupa karya seni, salinan naskah, dan lainnya. Disini penelti harus menempatkan pendekatan hermeneutik pada peristiwa yang tersituasi beserta cakrawalanya dalam konteks yang semestinya serta harus mampu memisahkan mana yang seharusnya masuk dalam cara pemahaman, penjelasan, dan interpretasi dari subjek penelitiannya.

Peneliti yang sedang melakukan kegiatannya, menggunakan kemampuannya sendiri untuk menemukan makna dari apa yang diteliti, juga selalu meningkatkan kesungguhan dan kemungkinan-kemungkinan reflektifnya. Karena validitas mengenai data dapat diwujudkan dari deskripsi yang tegas bersama-sama dengan pengalaman informan dalam suatu konteks antar subyek. Hubungan peneliti dengan yang diteliti terjadi secara dialektik, jika ada beberapa informan dalam interaksi ini, maka pengalaman tiap informan dapat membawa suatu revisi atau peninjauan interpretasi dalam penelitian seni. Di samping tak ada interpretasi tunggal yang dapat menyatakan pandangan keseluruhan, sejauh yang dapat di dukung oleh fenomenanya. Sehingga sangat mungkin keragaman interpretasi dalam mengungkapkan makna simbolisme serta dapat digabungkan ke dalam pe- nafsiran yang lebih bervariasi dalam penelitian yang menggunakan pendekatan hermeneutik ini.

 

 

PENUTUP

Fenomenologi dan Hermeneutika adalah teori pengalaman atau lebih khu -susnya teori tentang bagaimana kata-kata berhubungan dengan pengalaman, kedu anya berhubungan namun ada perbedaan.

Sementara yang pertama, memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedang yang kedua berkonsentrasi pada masalah – masalah yang muncul dari interpretasi tekstual, keduanya membicarakan cara dasar dengan sta -tus kita sebagai realita yang eksistensinya dimungkinkan dan ditentukan oleh kon- disi-kondisi fisik dan budaya yang melingkupi. Didefinisikan secara orisinal, her -meneutik merupakan seni pemahaman dan penginterpretasian tentang karya seni , serta teks-teks historis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Cazeaux, C., 2000, The Continental Aesthetics Reader, London, New York: TJ.

International Ltd.

Gadamer, H.G., 1976, Philosophical Hermeneutics, Berkeley, CA.: University of

California Press.

Howard, Roy J., 1982, Three Faces of Hermeneutics, Berkley and Los Angeles:

University of California Press. Ltd.

Ricouer, Paul, 1982, Hermeneutics and The Human Sciences, Melbourne, Syd-

ney: Cambridge University Press.

Sumaryono, E., Hermeneutik (Sebuah metode Filsafat), Yogyakarta: Kanisius,

1999

Sutopo, H.B., 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: Universitas

Sebelas Maret Press.

Thompson, J.B., Hermeneutics & The Human Sciences, New York: Cambridge

University Press.

Wolff, Janet, 1993, The Social Production of Art, New York: New York

University Press.